HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
A.
HAK
DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
Perkawinan
adalah perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria dengan seorang wanita
(suami dan istri) yang mengandung nilai ibadah kepada Allah satu pihak dan di
pihak lainnya mengandung aspek keperdataan yang menimbulkan hak dan kewajiban
antara suami dan istri. Hak dan kewajiban merupakan hubungan timbale balik
antara suami dengan istrinya. Hal itu diatur dalam pasal 30 undang-undang Nomor
1 tahun 1974 tentang perkawinan. Masalah hak dan kewajiban suami dan istri
diatur dalam pasal 31 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Ketentuan Pasal 31 diatur juga dalam Pasal KHI pada Pasal 79, selanjutnya Pasal
32 Undang-Undang perkawinan. Pasal 33 Undang-Undang perkawinan menyatakan bahwa
suami istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia, dan member
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
1. Kewajiban
Suami
a. Kewajiban
Suami yang Mempunyai seorang
Kewajiban
suami yang mempunyai seorang istri berbeda dari kewajiban yang mempunyai istri
lebih dari seorang. Kewajiban suami yang mempunyai seorang istri diatur dalam
pasal 80 dan 81 KHI.
Kewajiban
suami tersebut merupakan hak istri yang harus diperoleh dari suami berdasarkan
kemampuannya. Hal itu, bersumber dari Firman Allah SWT Surah At-Thalaq (65)
ayat 6.
b. Kewajiban
Suami yang Beristri Lebih dari Seorang
Pasal
82 KHI mengatur kewajiban mengenai kewajiban suami yang beristri lebih dari
seorang. Berdasarkan pasal 82 KHI dipahami bahwa kewajiban suami kepada
istrinya-istrinya adalah berperilaku seimbang, sepadan, dan selaras atau dalam
bahasa Alquran disebut adil. Hal ini bersumber dari Firman Allah dalam Surah
An-Nisaa (4) ayat 3.
2. Kewajiban
Istri
Selain
kewajiban suami yang merupakan suami yang merupakan hak istri, maka hak suami
pun ada yang merupakan kewajiban istri. Hal itu diatur dalam pasal 34
Undang-Undang Perkawinan secara umum dan secara rinci diatur dalam Pasal 83 dan
84 KHI.
Tolok
ukur mengenai istri yang nusyuz adalah sang istri membangkang terhadap suaminya,
tidak mematuhi ajakan atau perintahnya, menolak berhubungan suami istri tanpa
alasan yang jelas dan sah berdasarkan hukum Islam dan/atau istri keluar
meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya atau setidak-tidaknya diduga sang
suami tidak menyetujuinya.
B.
HARTA
KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
1. Harta
Bersama
Harta
bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh suami istri selama ada
ikatan perkawinan. Hal itu diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan. Bahwa segala harta yang diperoleh selama dalam ikatan
perkawinan diluar harta warisan, hibah, dan hadiah merupakan harta bersama.
Karena itu, harta yang diperoleh suami atau istri berdasarkan usahanya
masing-masing merupakan milik bersama suami istri.
Penggunaan
harta bersama suami istri atau harta dalam perkawinan , diatur dalam Pasal 36
ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan bahwa mengenai harta bersama
suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Lain
halnya penggunaan harta asal atau harta bawaan penggunaannya diatur dalam Pasal
36 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan bahwa menjelaskan tentang
hak suami atau istri untuk membelanjakan harta bawaan masing-masing.
Kalau
kekayaan bersama digunakan oleh salah satu pihak, tetapi tidak berdasarkan
persetujuan pihak lainnya, maka tindakan hukum yang demikian tidak terpuji.
Karena itu, baik suami maupun istri tanpa persetujuan keduanya dalam
menggunakan harta bersama menurut hukum Islam tidak diperbolehkan. Pasal 92 KHI
mengatur mengenai persetujuan penggunaan harta bersama. Penggunaan harta
bersama, lebih lanjut diatur dalam Pasal 93, 94, 95, 96, dan 97 KHI.
2. Pertanggungjawaban
terhadap Utang Suami
Pada
dasarnya, salah satu tanggung jawab suami adalah memberikan nafkah kepada
istrinya dan keluarganya, baik nafkah lahir maupun nafkah batin sesuai dengan
kemampuannya. Undang-Undang Perkawinan dan KHI tidak menjelaskan bagaimana
kalau suami tidak mampu memberikan nafkah pada istrinya. Melainkan KHI hanya
menyinggung utang suami secara umum dan tidak menyinggung ketidakmampuan suami
memberikan nafkah kepada istrinya. Hal ini tampak dalam keadaan dalam kondisi
social masyarakat saat ini. Kalau suami tidak mampu memberikan nafkah istrinya
maka gugurlah hak suami untuk melakukan hubungan dengan istrinya. Kalau suami
mendapat kesulitan untuk memberikan nafkah kepada istrinya maka perkawinannya
tidak sah. Suami yang berada dalam kesulitan, ditahan sebagai pemberian
kesempatan untuk mengatasi situasi krisisnya. Memberikan kesempatan kepada
suami untuk berbenah terhadap kewajibannya yang menjadi tanggung jawabnya.
Apabila si istri mampu dan suaminya kesulitan maka nafkah dibebankan kepada si
istri dan tidak menuntut pembayaran apabila suaminya mampu. Apabila seorang
perempuan menikah mengetahui suaminya dalam kesulitan, atau semula dalam
keadaan mampu kemudian karena sesuatu hal bangkrut, maka si istri tidak boleh
menuntut fasakh. Namun, bila ia tidak mengetahui sebelumnya, ia boleh
mengadukan fasakh.
KHI
menegaskan utang suami, atau istri menjadi tanggungan masing-masing. Hal ini
berarti, KHI tidak menegaskan jenis dan sifat utang itu sendiri. Jika terjadi
persoalan semacam ini kemudian diajukan ke Pengadilan Agama, sebaiknya hakim
perlu mempertimbangkan berbagai aspek untuk kepentingan, yaitu untuk apa suami
berutang, dan bagaimana juga kewajiban nafkah istri dan keluarganya dipenuhi.
C.
ASAL
USUL ANAK
Asal
usul anak adalah dasar untuk menunjukan adanya hubungan nasab (kekerabatan)
dengan ayahnya. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa anak yang lahir sebagai
akibat zina/atau li’an, hanya mempunyai hubungan kekerabatan dengan ibu yang
melahirkannya menurut oemahaman kaum sunni. Lain halnya pemahaman kaum syi’ah,
anak tidak mempunyai hubungan kekerabatan baik ayah maupun ibu yang
melahirkannya, sehingga tidak dapat menjadi ahli waris dari kedua orangtuanya.
Penduduk
yang mayoritas mendiami Negara republic Indonesia beragama Islam yang bermazhab
Syafi’I, sehingga pasal 42,43, dan 44 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur
asal usul anak berdasarkan hukum Islam Mazhab Syafi’i. anak yang lahir dari
ikatan perkawinan yang sah maka anak itu adalah anak yang sah. Namun, tidak
dijelaskan mengenai status bayi yang dikandung akibat perzinaan atau akad nikah
dilaksanakan pada saat calon mempelai wanita itu hamil.
Undang-Undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tampak tidak merinci mengenai status anak
yang sah. Namun bila menganalisis ayat-ayat Alquran yang berkaitan proses
kejadian manusia, ditemukan bahwa bayi yang berumur 120 hari belum mempunyai
roh dan sesudah 120 hari barulah Allah memerintahkan malaikat meniupkan roh
kepada roh bayi tersebut. Apabila kajian ini dihubungkan dengan hadis yang
mengungkapkan bahwa sesudah bayi mempunyai roh disempurnakan bentuknya selama
dua bulan sehingga batas minimal kandungan yang dapat dikategorikan anak yang
sah adalah anak yang lahir minimal 6 bulan sesudah pelaksanaan akad nikah.
D.
PEMELIHARAAN
ANAK DAN TANGGUNG JAWAB TERHADAP ANAK BILA TERJADI PERCERAIAN
1. Pemeliharaan
anak
Pemeliharaan
anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan primer dan sekunder anak.
Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu pendidikan, biaya hidup, kesehatan,
ketentraman, dan segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhannya. Dalam ajaran
Islam diungkapkan bahwa tanggungjawab ekonomi berada di pundak suami sebagai
kepala rumah tangga, dan tidak tertutup kemungkinan tanggung jawab itu beralih
kepada istri untuk membantu suaminya bila suami tidak mampu melaksanakan
kewajibannya.
Secara
khusus Alquran menganjurkan kepada ibu agar menyusui anak-anaknya secara
sempurna (sampai usia dua tahun). Namun, Alquran juga mengisyaratkan kepada
ayah atau ibu supaya melaksanakan kewajibannya berdasarkan kemampuannya, dan
sama sekali Alquran tidak menginginkan ayah atau ibu menderita karena anaknya.
Apabila orang tua tidak mampu memikul tanggung jawab dapat dialihkan kepada
keluarganya. Selain itu, hak anak terhadap orang tuanya adalah anak mendapat
pendidikan, baik menulis maupun membaca, pendidikan keterampilan, dan
mendapatkan rezeki yang halal.
Kewajiban
lain yang menjadi tanggung jawab orang tua, yaitu hak kebendaan. Orang tua
tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang
dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau sebelum melangsungkan
perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Kalau seorang
bayi disusukan oleh orang yang bukan melahirkannya, maka perempuan yang
menyusui ditanggung oleh ayah bayi itu.
Demikian
uraian mengenai ketentuan pemeliharaan anak danbatas-batasnya yang menjadi
tanggung jawab orang tua terutama ayah sebagai kepala rumah tangga dan
pelindung keluarga, bagi istri dan anak-anaknya.
2. Tanggung
Jawab terhadap Anak Bila Terjadi Perceraian
Pada
dasarnya orang tua bertanggung jawab atas pemeliharaan anak-anaknya, baik orang
tua dalam keadaan rukun maupun dalam keadaan sudah bercerai.
Pemeliharaan
anak biasa disebut hadanah dalam kajian fikih. Hadanah adalah memelihara
seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala
sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk
menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.
Tanggung
jawab seorang ayah kepada anaknya tidak dapat gugur walaupun ia sudah bercerai
dengan istrinya atau ia sudah kawin lagi. Dapat juga dipahami bahwa ketika anak
itu masih kecil maka pemeliharaannya merupakan hak ibu, namun biaya ditanggung
oleh ayahnya. Anak yang belum mumayyiz maka ibu mendapat prioritas utama untuk
mengasuh anaknya. Apabila anak yang sudah mumayyiz maka sang anak berhak
memilih di antara ayah atau ibunya yang ia ikuti.
E.
PERWALIAN
Perwalian
adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu
perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak
mempunyai kedua orang tua, atau orang tua yang masih hidup tidak cakap
melakukan perbuatan hukum.
apa kepanjangan KHI ?
BalasHapus