Minggu, 16 September 2012

PERJANJIAN PERKAWINAN, WANITA HAMIL, DAN POLIGAMI DALAM HUKUM PERKAWINAN


PERJANJIAN PERKAWINAN, WANITA HAMIL, DAN POLIGAMI DALAM HUKUM PERKAWINAN

A.    PERJANJIAN DALAM PERKAWINAN
Perjanjian dalam pelaksanaan perkawinan diatur dalam pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menjelaskan pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah.
Sebelum pelaksanaan akad nikah Pegawai Pencatat perlu melakukan penelitian mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua calon mempelai, baik secara material atau isi perjanjian itu, maupun teknis bagaimana perjanjian itu telah disepakati mereka bersama.
B.     PERKAWINAN WANITA HAMIL
Perkawinan wanita hami adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya. Oleh karena itu, masalah kawin dengan perempuan yang hamil diperlukan ketelitian dan diperhatikan yang bijaksana terutama oleh Pegawai Pencatat Nikah. Hal itu, dimaksudkan adanya fenomena social mengenai kurangnya kesadaran masyrakat muslim terhadap kaidah-kaidah moral, agama, dan etika sehingga tanpa ketelitian terhadap perkawinan wanita hamil memungkinkan terjadinya seorang pria yang bukan menghamilinya tetapi ia menikahinya. Yang menjadi dasarnya terdapat pada pasal 53 KHI, dasar pertimbangan pasal tersebut adalah Surah An-Nur (24) ayat 3. Ayat tersebut menunjukan bahwa kebolehan perempuan hamil kawin dengan laki-laki yang menghamilinya merupakan pengecualian. Yang menjadi masalah dalam hal ini adalah seorang perempuan yang hamil sebagai akibat zina dinikahi oleh seorang laki-laki yang bukan menghamilinya. Ketentuan ini tidak diatur oleh Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian bahwa kalau hal ini terjadi maka anak yang lahir adalah anak zina dan sesudah ibunya melahirkan sebaiknya dinikahkan ulang dengan laki-laki yang mengawininya ketika ia hamil.


C.    ALASAN,SYARAT, DAN PROSEDUR POLIGAMI
1.      Alasan Poligami
Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah member izin. Dasar pemberian izin poligami oleh pengadilan Agama diatur dalam pasal 4 ayat (2) Undang-undang Perkawinan.
2.      Syarat-syarat Poligami
Pasal 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri, kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya, adanya jamina bahwa suami akan berlaku adil terhadap  istri-istri dan anak-anak mereka.
3.      Prosedur Poligami
Prosedur poligamiu menurut pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam pasal 56,57,dan 58 Kompilasi Hukum Islam.
Kalau sang istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu alasan yang diatur, pengadilan agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Ketentuan hukum poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin pengadilan Agama, setelah dibuktikan kemaslahatannya. Dengan kemaslahatan dimaksud, terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan abadi atas dasar cinta dan kasih sayang yang di ridai oleh Allah SWT.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar