Minggu, 16 September 2012

PUTUS PERKAWINAN, TATA CARA PERCERAIAN, DAN MASA IDDAH


PUTUS PERKAWINAN, TATA CARA PERCERAIAN, DAN MASA IDDAH

A.    PUTUS PERKAWINAN (KARENA KEMATIAN, PERCERAIAN, DAN PUTUSAN PENGADILAN) SERTA AKIBAT-AKIBATNYA
1.      Putus Perkawinan
Putus perkawinan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Putus ikatan bisa berarti salah seorang di antara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah bercerai, dan salah seorang di antara keduanya pergi ke tempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal.
Perceraian dalam hukum islam adalah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT. Perceraian merupakan alternative terakhir yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternative terakhir dimaksud, berarti sudah ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian di antara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh Alquran dan Alhadis.
Persoalan putusnya perkawinan atau perceraian serta akibat-akibatnya, diatur dalam pasal 38 sampai dengan pasal 41 Undang-undang Perkawinan. Tata cara perceraian diatur dalam pasal 14 sampai dengan pasal 36 peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan tekniknya diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975.
Pasal 113 sampai dengan pasal 162 KHI merumuskan garis hukum yang lebih rinci mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian, tata cara, dan akibat hukumnya. Dalam KHI terdapat tambahan mengenai alasan terjadinya perceraian yang berlaku khusus kepada suami istri (pasangan perawinan) yang memeluk agama islam, yaitu suami melanggar taklik talak, peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
2.      Akibat Putusnya Perkawinan
Akibat hukum yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan maupun hukum yang tertulis dalam KHI. Putusnya ikatan perkawinan dapat dikelompokan menjadi 5 (lima) karakteristik, yaitu:
a.       Akibat Talak
Ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai beberapa akibat hukum berdasarkan pasal 149 KHI.
b.      Akibat perceraian (cerai gugat)
Cerai gugat, yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami) perkawinan.
Pasal 156 KHI mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian(cerai gugat).
c.       Akibat Khulu’
Perceraian yang terjadi akibat Khulu’, yaitu suatu ikatan perkawinan yang putus karena pihak istri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Selain itu, khulu adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suami. Oleh karena itu, khulu adalah perceraian yang terjadi dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk. Hal ini berdasarkan Pasal 161 KHI.
d.      Akibat Li’an
Perceraian yang terjadi sebagai akibat Li’an yaitu ikatan perkawinan yang putus selama-lamanya.  Dengan putusnya perkawinan dimaksud, anak yang dikandung oleh istri dinasabkan kepadanya (ibu anak) sebagai akibat Li’an. Pasal 162 KHI merumuskan garis hukumnya.
e.       Akibat Ditinggal Mati Suami
Ikatan perkawinan putus sebagai akibat meninggalnya suami, maka istri menjalani masa iddah dan bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anaknya serta mendapat bagian harta warisan dari suaminya.
B.     TATA CARA PERCERAIAN
perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, dan kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah perceraian.
Tata cara perceraian bila dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek, yaitu sebagai berikut.
1.      Cerai Talak (Suami yang Bermohon untuk Bercerai)
Apabila suami yang mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menceraikan istrinya, kemudian istrinya menyetujuinya disebut cerai talak. Hal ini diatur dalam pasal 66 UUPA. Sesudah permohonan cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama, pengadilan Agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar diajukannya permohonan tersebut.
2.      Cerai Gugat (Istri yang Bermohon untuk Bercerai)
Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud. Cerai gugat diatur dalam pasal 73 UUPA. Mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan diatur dalam pasal 74, 75, dan 76 UUPA dan Pasal 133, 134, dan 135 KHI.
Gugatan tersebut gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Namun, bila terjadi perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai.
C.    MASA IDDAH (WAKTU TUNGGU)
Masa iddah (waktu tunggu) adalahs eorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya, baik putus karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan pengadilan. Masa iddah tersebut, hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri. Lain halnya bila istri belum melakukan hubungan suami istri, tidak mempunyai masa iddah.
Pengklasifikasian masa iddah diuraikan sebagai berikut.
1.      Putusnya Perkawinan kartena Ditinggal Mati Suami
Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari. Ketetapan ini, berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Lain halnya, bila istri yang ditinggal dalam keadaan hamil, waktu tunggunya adalah sampai ia melahirkan.
2.      Putus Perkawinan karena Perceraian
Seorang istri yang diceraikan oleh suaminya, maka memungkinkan mempunyai beberapa waktu tunggu. Dalam keadaan hamil, istri diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil maka iddah-nya sampai ia melahirkan kandungannya. Dalam keadaan tidak hamil, istri diceraikan oleh suaminya setelah terjadi hubungan kelamin, bagi seorang istri yang masih dating bulan, waktu tunggunya berlaku 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari. Bagi seorang istri yang tidak dating bulan massa iddahnya tiga bulan atau 90 hari. Bagi seorang istri yang pernah haid. Namun, ketika menjalani masa iddah ia tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci. Dalam keadaan menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun dimaksud ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali suci.
3.      Putus Perkawinan karena Khulu’, Fasakh, dan Li’an
Kalau masa iddah bagi janda yang putus ikatan perkawinannya karena Khulu (cerai gugat atas dasar tebusan atau iwad dari istri), Fasakh (putus iketan perkawinan karena salah satu di antara suami atau istri murtad atau sebab lain yang seharusnya dia tidak dibenarkan kawin), atau Li’an, maka waktu tunggu berlaku seperti iddah talak.
4.      Istri ditalak Raj’I kemudian Ditinggal Mati Suami dalam Masa Iddah
Apabila seorang istri tertalak raj’I kemudian di dalam menjalani masa iddah ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130 hari yang mulai perhitungannya pada saat matinya bekas suaminya.
Karakteristik masa iddah tersebut, merupakan ketentuan hukum mengenai tenggang waktu hitungan masa iddah dalam hukum perkawinan Islam. Di antara hikmah yang penting dalam masalah iddah, selain untuk mengetahui keadaan rahim, juga menentukan nasab anak, member alokasi waktu yang cukup untuk merenungkan tindakan perceraian, bagi  istri yang ditinggal mati suaminya adalah untuk turut berduka cita atau berkabung sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
Ketentuan tersebut, bukan hanya mengatur masa iddah dalam hal berkabung, melainkan juga mengatur masalah masa berkabung bagi suami yang ditinggal mati oleh istrinya. Berarti pengaturan hukum perkawinan Islam dalam masa iddah bukan hanya semata-mata mementingkan aspek yuridis normative, tetapi juga mementingkan aspek yuridis empiris yang memuat aspek rasa, toleransi, dan kepatutan.

D.    RUJUK : PENGERTIAN DAN TATA CARANYA
1.      Pengertian Rujuk
Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali. Rujuk dalam pengertian terminology adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai raj’I, dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa iddah.
Rujuk dalam hukum perkawinan Islam merupakan tindakan hukum yang terpuji. Sebab, sesudah sepasang suami istri melewati masa kritis konflik yang diakhiri dengan perceraian, kemudian timbul kesadaran untuk menyambung tali perkawinan yang pernah putus dalam menyongsong hari esok yang lebih baik.
Apabila suami melakukan rujuk berarti melakukan akad nikah kembali. Dengan demikian, istri yang akan dirujuk oleh suaminya menyetujui dan disaksikan oleh dua orang saksi. Di lain pihak, walaupun sang bekas suami ingin rujuk kepada bekas istrinya yang masih dalam masa iddah, tetapi sang istri tidak menerimanya maka hal itu tidak akan terjadi rujuk. Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Hikmah rujuk diantaranya, bertaubat dan menyesali kesalahan-kesalahan yang lalu untuk bertekad memperbaiakinya, menghindari murka dan kebencian Allah SWT, untuk menjaga keutuhan dan keselamatan keluarga, khususnya masa depan anak-anak.
2.      Tata Cara Rujuk
Tata cara dan prosedur rujuk telah diatur dalam pasal 32, 33, 34, dan 38 peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan bagi yang beragama Islam.
Prinsip rujuk baru dapat dilaksanakan setelah persyaratan yuridis normative dan teknis yuridis empiris terpenuhi. Sesudah rujuk dilaksanakan, maka hal-hal yang bersifat administrative, yang menjadi tugas dan kewenangan Pegawai Pencatat Nikah diatur dalam pasal 168 KHI. Selanjutnya pasal 169 KHI menguraikan langkah-langkah administrative lainnya.
Ketentuan mengenai rujuk sama halnya dengan perkawinan, yaitu hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan administrasi dalam ikatan perkawinan yang disebut dalam kaidah ushul maslahat mursalah, yaitu mewujudkan suatu hukum untuk mencapai kemaslahatan, sementara tidak ada nsah yang mengatur atau melarangnya.
E.     SANKSI PIDANA DALAM HUKUM PERKAWINAN
Sanksi pidana dalam hukum perkawinan adalah hukuman yang akan diterima oleh pihak-pihak tertetntu yang melanggar hukum perkawinan. Sanksi pidana diatur dalam pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Ketentuan pasal 45 dan penjelasan dari peraturan pemerintah tersebut, membedakan jenis pelanggaran dan sanksi hukuman antara mepelai dengan pejabat pencatat perkawinan. Jenis-jenis pelanggaran hukum tersebut, akan dikemukakan sanksi pidana berdasarkan :
1.      Jenis pelanggaran Calon Mempelai,
2.      Jenis pelanggaran Pegawai Pencatat Nikah
3.      Kategori Tindak Pidana dalam Hukum Perkawinan.
F.     PERKAWINAN ANTAR (PEMELUK) AGAMA DAN STATUS KEWARGANEGARAAN YANG BERBEDA
1.      Perkawinan Antarpemeluk Agama
            Perkawinan antarpemeluk agama (pria yang beragama islam dengan wanita yang beragama selain Islam atau sebalikanya) tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun demikian, Kompilasi Hukum Islam mengungkapkan larangan terhadap orang Islam mengawini orang yang tidak beragama islam yang diatur dalam pasal 40 dan 44 KHI.
            Dalam Surah Al-maidah (5) ayat 5, Allah member dispensasi berupa hak kepada pria muslim untuk menikahi wanita ahlul kitab, yakni wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Hak atau kewenangan terbuka itu dapat dipergunakan atau tidak dipergunakan oleh pria muslim, tergantung pada situasi, kondisi, dan keadaan dirinya. Dispensasi itu hanya diberikan kepada pria muslim, tidak kepada wanita muslim atau muslimat. Hak dimaksud untuk mengawini wanita kitabi.
2.      Perkawinan Antarkewarganegaraan yang Berbeda
            Perkawinan antarkewarganegaraan yang berbeda dalam terminology disebut perkawinan campuran. Hal ini diatur dalam pasal 57, 58, 59, 60, 61, dan 62 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

2 komentar: