PUTUS
PERKAWINAN, TATA CARA PERCERAIAN, DAN MASA IDDAH
A.
PUTUS
PERKAWINAN (KARENA KEMATIAN, PERCERAIAN, DAN PUTUSAN PENGADILAN) SERTA
AKIBAT-AKIBATNYA
1. Putus
Perkawinan
Putus
perkawinan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
sudah putus. Putus ikatan bisa berarti salah seorang di antara keduanya
meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah bercerai, dan salah seorang di
antara keduanya pergi ke tempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga
pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal.
Perceraian
dalam hukum islam adalah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip
dilarang oleh Allah SWT. Perceraian merupakan alternative terakhir yang dapat
dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan tidak dapat dipertahankan
keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternative terakhir dimaksud, berarti sudah
ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian di antara kedua belah
pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak maupun
langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh Alquran dan Alhadis.
Persoalan
putusnya perkawinan atau perceraian serta akibat-akibatnya, diatur dalam pasal
38 sampai dengan pasal 41 Undang-undang Perkawinan. Tata cara perceraian diatur
dalam pasal 14 sampai dengan pasal 36 peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
dan tekniknya diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975.
Pasal
113 sampai dengan pasal 162 KHI merumuskan garis hukum yang lebih rinci
mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian, tata cara, dan akibat hukumnya.
Dalam KHI terdapat tambahan mengenai alasan terjadinya perceraian yang berlaku
khusus kepada suami istri (pasangan perawinan) yang memeluk agama islam, yaitu
suami melanggar taklik talak, peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
2. Akibat
Putusnya Perkawinan
Akibat
hukum yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan
seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam
Undang-Undang Perkawinan maupun hukum yang tertulis dalam KHI. Putusnya ikatan
perkawinan dapat dikelompokan menjadi 5 (lima) karakteristik, yaitu:
a. Akibat
Talak
Ikatan
perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai beberapa akibat
hukum berdasarkan pasal 149 KHI.
b. Akibat
perceraian (cerai gugat)
Cerai
gugat, yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui
pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud
sehingga putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami) perkawinan.
Pasal
156 KHI mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian(cerai
gugat).
c. Akibat
Khulu’
Perceraian
yang terjadi akibat Khulu’, yaitu suatu ikatan perkawinan yang putus karena
pihak istri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan
perkawinan. Selain itu, khulu adalah perceraian yang terjadi atas permintaan
istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan
suami. Oleh karena itu, khulu adalah perceraian yang terjadi dalam bentuk
mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk. Hal ini berdasarkan Pasal 161
KHI.
d. Akibat
Li’an
Perceraian
yang terjadi sebagai akibat Li’an yaitu ikatan perkawinan yang putus
selama-lamanya. Dengan putusnya
perkawinan dimaksud, anak yang dikandung oleh istri dinasabkan kepadanya (ibu
anak) sebagai akibat Li’an. Pasal 162 KHI merumuskan garis hukumnya.
e. Akibat
Ditinggal Mati Suami
Ikatan
perkawinan putus sebagai akibat meninggalnya suami, maka istri menjalani masa
iddah dan bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anaknya serta mendapat
bagian harta warisan dari suaminya.
B.
TATA
CARA PERCERAIAN
perceraian
dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran Islam.
Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, dan
kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau
tercapai sehingga yang terjadi adalah perceraian.
Tata
cara perceraian bila dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali
terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek, yaitu sebagai berikut.
1. Cerai
Talak (Suami yang Bermohon untuk Bercerai)
Apabila suami yang mengajukan permohonan
ke pengadilan untuk menceraikan istrinya, kemudian istrinya menyetujuinya
disebut cerai talak. Hal ini diatur dalam pasal 66 UUPA. Sesudah permohonan
cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama, pengadilan Agama melakukan
pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar diajukannya permohonan
tersebut.
2. Cerai
Gugat (Istri yang Bermohon untuk Bercerai)
Cerai gugat adalah ikatan perkawinan
yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri ke Pengadilan
Agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama
mengabulkan permohonan dimaksud. Cerai gugat diatur dalam pasal 73 UUPA.
Mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan diatur dalam
pasal 74, 75, dan 76 UUPA dan Pasal 133, 134, dan 135 KHI.
Gugatan tersebut gugur apabila suami
atau istri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan mengenai gugatan
perceraian itu. Namun, bila terjadi perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan
perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat
sebelum perdamaian tercapai.
C.
MASA
IDDAH (WAKTU TUNGGU)
Masa
iddah (waktu tunggu) adalahs eorang istri yang putus perkawinannya dari
suaminya, baik putus karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan
pengadilan. Masa iddah tersebut, hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan
hubungan suami istri. Lain halnya bila istri belum melakukan hubungan suami
istri, tidak mempunyai masa iddah.
Pengklasifikasian
masa iddah diuraikan sebagai berikut.
1. Putusnya
Perkawinan kartena Ditinggal Mati Suami
Apabila perkawinan putus karena
kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari. Ketetapan ini, berlaku bagi istri
yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Lain halnya, bila istri
yang ditinggal dalam keadaan hamil, waktu tunggunya adalah sampai ia
melahirkan.
2. Putus
Perkawinan karena Perceraian
Seorang istri yang diceraikan oleh
suaminya, maka memungkinkan mempunyai beberapa waktu tunggu. Dalam keadaan
hamil, istri diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil maka iddah-nya sampai
ia melahirkan kandungannya. Dalam keadaan tidak hamil, istri diceraikan oleh
suaminya setelah terjadi hubungan kelamin, bagi seorang istri yang masih dating
bulan, waktu tunggunya berlaku 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90
hari. Bagi seorang istri yang tidak dating bulan massa iddahnya tiga bulan atau
90 hari. Bagi seorang istri yang pernah haid. Namun, ketika menjalani masa
iddah ia tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci. Dalam
keadaan menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu
satu tahun dimaksud ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali suci.
3. Putus
Perkawinan karena Khulu’, Fasakh, dan Li’an
Kalau masa iddah bagi janda yang putus
ikatan perkawinannya karena Khulu (cerai gugat atas dasar tebusan atau iwad
dari istri), Fasakh (putus iketan perkawinan karena salah satu di antara suami
atau istri murtad atau sebab lain yang seharusnya dia tidak dibenarkan kawin),
atau Li’an, maka waktu tunggu berlaku seperti iddah talak.
4. Istri
ditalak Raj’I kemudian Ditinggal Mati Suami dalam Masa Iddah
Apabila seorang istri tertalak raj’I
kemudian di dalam menjalani masa iddah ditinggal mati oleh suaminya, maka
iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130 hari yang mulai
perhitungannya pada saat matinya bekas suaminya.
Karakteristik
masa iddah tersebut, merupakan ketentuan hukum mengenai tenggang waktu hitungan
masa iddah dalam hukum perkawinan Islam. Di antara hikmah yang penting dalam
masalah iddah, selain untuk mengetahui keadaan rahim, juga menentukan nasab
anak, member alokasi waktu yang cukup untuk merenungkan tindakan perceraian,
bagi istri yang ditinggal mati suaminya
adalah untuk turut berduka cita atau berkabung sekaligus menjaga timbulnya
fitnah.
Ketentuan
tersebut, bukan hanya mengatur masa iddah dalam hal berkabung, melainkan juga
mengatur masalah masa berkabung bagi suami yang ditinggal mati oleh istrinya.
Berarti pengaturan hukum perkawinan Islam dalam masa iddah bukan hanya
semata-mata mementingkan aspek yuridis normative, tetapi juga mementingkan
aspek yuridis empiris yang memuat aspek rasa, toleransi, dan kepatutan.
D.
RUJUK
: PENGERTIAN DAN TATA CARANYA
1. Pengertian
Rujuk
Rujuk
dalam pengertian etimologi adalah kembali. Rujuk dalam pengertian terminology
adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai
raj’I, dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa iddah.
Rujuk
dalam hukum perkawinan Islam merupakan tindakan hukum yang terpuji. Sebab,
sesudah sepasang suami istri melewati masa kritis konflik yang diakhiri dengan
perceraian, kemudian timbul kesadaran untuk menyambung tali perkawinan yang
pernah putus dalam menyongsong hari esok yang lebih baik.
Apabila
suami melakukan rujuk berarti melakukan akad nikah kembali. Dengan demikian,
istri yang akan dirujuk oleh suaminya menyetujui dan disaksikan oleh dua orang
saksi. Di lain pihak, walaupun sang bekas suami ingin rujuk kepada bekas
istrinya yang masih dalam masa iddah, tetapi sang istri tidak menerimanya maka
hal itu tidak akan terjadi rujuk. Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri,
dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Hikmah
rujuk diantaranya, bertaubat dan menyesali kesalahan-kesalahan yang lalu untuk
bertekad memperbaiakinya, menghindari murka dan kebencian Allah SWT, untuk
menjaga keutuhan dan keselamatan keluarga, khususnya masa depan anak-anak.
2. Tata
Cara Rujuk
Tata
cara dan prosedur rujuk telah diatur dalam pasal 32, 33, 34, dan 38 peraturan
Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah
dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan
Perkawinan bagi yang beragama Islam.
Prinsip
rujuk baru dapat dilaksanakan setelah persyaratan yuridis normative dan teknis
yuridis empiris terpenuhi. Sesudah rujuk dilaksanakan, maka hal-hal yang
bersifat administrative, yang menjadi tugas dan kewenangan Pegawai Pencatat
Nikah diatur dalam pasal 168 KHI. Selanjutnya pasal 169 KHI menguraikan
langkah-langkah administrative lainnya.
Ketentuan
mengenai rujuk sama halnya dengan perkawinan, yaitu hanya dapat dibuktikan
dengan akta nikah. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan
administrasi dalam ikatan perkawinan yang disebut dalam kaidah ushul maslahat
mursalah, yaitu mewujudkan suatu hukum untuk mencapai kemaslahatan, sementara
tidak ada nsah yang mengatur atau melarangnya.
E.
SANKSI
PIDANA DALAM HUKUM PERKAWINAN
Sanksi
pidana dalam hukum perkawinan adalah hukuman yang akan diterima oleh
pihak-pihak tertetntu yang melanggar hukum perkawinan. Sanksi pidana diatur
dalam pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Ketentuan
pasal 45 dan penjelasan dari peraturan pemerintah tersebut, membedakan jenis
pelanggaran dan sanksi hukuman antara mepelai dengan pejabat pencatat
perkawinan. Jenis-jenis pelanggaran hukum tersebut, akan dikemukakan sanksi
pidana berdasarkan :
1. Jenis
pelanggaran Calon Mempelai,
2. Jenis
pelanggaran Pegawai Pencatat Nikah
3. Kategori
Tindak Pidana dalam Hukum Perkawinan.
F.
PERKAWINAN
ANTAR (PEMELUK) AGAMA DAN STATUS KEWARGANEGARAAN YANG BERBEDA
1. Perkawinan
Antarpemeluk Agama
Perkawinan antarpemeluk agama (pria
yang beragama islam dengan wanita yang beragama selain Islam atau sebalikanya)
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun demikian,
Kompilasi Hukum Islam mengungkapkan larangan terhadap orang Islam mengawini
orang yang tidak beragama islam yang diatur dalam pasal 40 dan 44 KHI.
Dalam Surah Al-maidah (5) ayat 5,
Allah member dispensasi berupa hak kepada pria muslim untuk menikahi wanita
ahlul kitab, yakni wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Hak atau kewenangan
terbuka itu dapat dipergunakan atau tidak dipergunakan oleh pria muslim,
tergantung pada situasi, kondisi, dan keadaan dirinya. Dispensasi itu hanya
diberikan kepada pria muslim, tidak kepada wanita muslim atau muslimat. Hak
dimaksud untuk mengawini wanita kitabi.
2. Perkawinan
Antarkewarganegaraan yang Berbeda
Perkawinan antarkewarganegaraan yang
berbeda dalam terminology disebut perkawinan campuran. Hal ini diatur dalam
pasal 57, 58, 59, 60, 61, dan 62 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus