Minggu, 16 September 2012

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI


HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI

A.    HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
Perkawinan adalah perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria dengan seorang wanita (suami dan istri) yang mengandung nilai ibadah kepada Allah satu pihak dan di pihak lainnya mengandung aspek keperdataan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Hak dan kewajiban merupakan hubungan timbale balik antara suami dengan istrinya. Hal itu diatur dalam pasal 30 undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Masalah hak dan kewajiban suami dan istri diatur dalam pasal 31 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Ketentuan Pasal 31 diatur juga dalam Pasal KHI pada Pasal 79, selanjutnya Pasal 32 Undang-Undang perkawinan. Pasal 33 Undang-Undang perkawinan menyatakan bahwa suami istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia, dan member bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
1.      Kewajiban Suami
a.       Kewajiban Suami yang Mempunyai seorang
Kewajiban suami yang mempunyai seorang istri berbeda dari kewajiban yang mempunyai istri lebih dari seorang. Kewajiban suami yang mempunyai seorang istri diatur dalam pasal 80 dan 81 KHI.
Kewajiban suami tersebut merupakan hak istri yang harus diperoleh dari suami berdasarkan kemampuannya. Hal itu, bersumber dari Firman Allah SWT Surah At-Thalaq (65) ayat 6.
b.      Kewajiban Suami yang Beristri Lebih dari Seorang
Pasal 82 KHI mengatur kewajiban mengenai kewajiban suami yang beristri lebih dari seorang. Berdasarkan pasal 82 KHI dipahami bahwa kewajiban suami kepada istrinya-istrinya adalah berperilaku seimbang, sepadan, dan selaras atau dalam bahasa Alquran disebut adil. Hal ini bersumber dari Firman Allah dalam Surah An-Nisaa (4) ayat 3.
2.      Kewajiban Istri
Selain kewajiban suami yang merupakan suami yang merupakan hak istri, maka hak suami pun ada yang merupakan kewajiban istri. Hal itu diatur dalam pasal 34 Undang-Undang Perkawinan secara umum dan secara rinci diatur dalam Pasal 83 dan 84 KHI.
Tolok ukur mengenai istri yang nusyuz adalah sang istri membangkang terhadap suaminya, tidak mematuhi ajakan atau perintahnya, menolak berhubungan suami istri tanpa alasan yang jelas dan sah berdasarkan hukum Islam dan/atau istri keluar meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya atau setidak-tidaknya diduga sang suami tidak menyetujuinya.
B.     HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
1.      Harta Bersama
Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh suami istri selama ada ikatan perkawinan. Hal itu diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Bahwa segala harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan diluar harta warisan, hibah, dan hadiah merupakan harta bersama. Karena itu, harta yang diperoleh suami atau istri berdasarkan usahanya masing-masing merupakan milik bersama suami istri.
Penggunaan harta bersama suami istri atau harta dalam perkawinan , diatur dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan bahwa mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Lain halnya penggunaan harta asal atau harta bawaan penggunaannya diatur dalam Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan bahwa menjelaskan tentang hak suami atau istri untuk membelanjakan harta bawaan masing-masing.
Kalau kekayaan bersama digunakan oleh salah satu pihak, tetapi tidak berdasarkan persetujuan pihak lainnya, maka tindakan hukum yang demikian tidak terpuji. Karena itu, baik suami maupun istri tanpa persetujuan keduanya dalam menggunakan harta bersama menurut hukum Islam tidak diperbolehkan. Pasal 92 KHI mengatur mengenai persetujuan penggunaan harta bersama. Penggunaan harta bersama, lebih lanjut diatur dalam Pasal 93, 94, 95, 96, dan 97 KHI.
2.      Pertanggungjawaban terhadap Utang Suami
Pada dasarnya, salah satu tanggung jawab suami adalah memberikan nafkah kepada istrinya dan keluarganya, baik nafkah lahir maupun nafkah batin sesuai dengan kemampuannya. Undang-Undang Perkawinan dan KHI tidak menjelaskan bagaimana kalau suami tidak mampu memberikan nafkah pada istrinya. Melainkan KHI hanya menyinggung utang suami secara umum dan tidak menyinggung ketidakmampuan suami memberikan nafkah kepada istrinya. Hal ini tampak dalam keadaan dalam kondisi social masyarakat saat ini. Kalau suami tidak mampu memberikan nafkah istrinya maka gugurlah hak suami untuk melakukan hubungan dengan istrinya. Kalau suami mendapat kesulitan untuk memberikan nafkah kepada istrinya maka perkawinannya tidak sah. Suami yang berada dalam kesulitan, ditahan sebagai pemberian kesempatan untuk mengatasi situasi krisisnya. Memberikan kesempatan kepada suami untuk berbenah terhadap kewajibannya yang menjadi tanggung jawabnya. Apabila si istri mampu dan suaminya kesulitan maka nafkah dibebankan kepada si istri dan tidak menuntut pembayaran apabila suaminya mampu. Apabila seorang perempuan menikah mengetahui suaminya dalam kesulitan, atau semula dalam keadaan mampu kemudian karena sesuatu hal bangkrut, maka si istri tidak boleh menuntut fasakh. Namun, bila ia tidak mengetahui sebelumnya, ia boleh mengadukan fasakh.
KHI menegaskan utang suami, atau istri menjadi tanggungan masing-masing. Hal ini berarti, KHI tidak menegaskan jenis dan sifat utang itu sendiri. Jika terjadi persoalan semacam ini kemudian diajukan ke Pengadilan Agama, sebaiknya hakim perlu mempertimbangkan berbagai aspek untuk kepentingan, yaitu untuk apa suami berutang, dan bagaimana juga kewajiban nafkah istri dan keluarganya dipenuhi.
C.    ASAL USUL ANAK
Asal usul anak adalah dasar untuk menunjukan adanya hubungan nasab (kekerabatan) dengan ayahnya. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa anak yang lahir sebagai akibat zina/atau li’an, hanya mempunyai hubungan kekerabatan dengan ibu yang melahirkannya menurut oemahaman kaum sunni. Lain halnya pemahaman kaum syi’ah, anak tidak mempunyai hubungan kekerabatan baik ayah maupun ibu yang melahirkannya, sehingga tidak dapat menjadi ahli waris dari kedua orangtuanya.
Penduduk yang mayoritas mendiami Negara republic Indonesia beragama Islam yang bermazhab Syafi’I, sehingga pasal 42,43, dan 44 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur asal usul anak berdasarkan hukum Islam Mazhab Syafi’i. anak yang lahir dari ikatan perkawinan yang sah maka anak itu adalah anak yang sah. Namun, tidak dijelaskan mengenai status bayi yang dikandung akibat perzinaan atau akad nikah dilaksanakan pada saat calon mempelai wanita itu hamil.
Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tampak tidak merinci mengenai status anak yang sah. Namun bila menganalisis ayat-ayat Alquran yang berkaitan proses kejadian manusia, ditemukan bahwa bayi yang berumur 120 hari belum mempunyai roh dan sesudah 120 hari barulah Allah memerintahkan malaikat meniupkan roh kepada roh bayi tersebut. Apabila kajian ini dihubungkan dengan hadis yang mengungkapkan bahwa sesudah bayi mempunyai roh disempurnakan bentuknya selama dua bulan sehingga batas minimal kandungan yang dapat dikategorikan anak yang sah adalah anak yang lahir minimal 6 bulan sesudah pelaksanaan akad nikah.
D.    PEMELIHARAAN ANAK DAN TANGGUNG JAWAB TERHADAP ANAK BILA TERJADI PERCERAIAN
1.      Pemeliharaan anak
Pemeliharaan anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan primer dan sekunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu pendidikan, biaya hidup, kesehatan, ketentraman, dan segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhannya. Dalam ajaran Islam diungkapkan bahwa tanggungjawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga, dan tidak tertutup kemungkinan tanggung jawab itu beralih kepada istri untuk membantu suaminya bila suami tidak mampu melaksanakan kewajibannya.
Secara khusus Alquran menganjurkan kepada ibu agar menyusui anak-anaknya secara sempurna (sampai usia dua tahun). Namun, Alquran juga mengisyaratkan kepada ayah atau ibu supaya melaksanakan kewajibannya berdasarkan kemampuannya, dan sama sekali Alquran tidak menginginkan ayah atau ibu menderita karena anaknya. Apabila orang tua tidak mampu memikul tanggung jawab dapat dialihkan kepada keluarganya. Selain itu, hak anak terhadap orang tuanya adalah anak mendapat pendidikan, baik menulis maupun membaca, pendidikan keterampilan, dan mendapatkan rezeki yang halal.
Kewajiban lain yang menjadi tanggung jawab orang tua, yaitu hak kebendaan. Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau sebelum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Kalau seorang bayi disusukan oleh orang yang bukan melahirkannya, maka perempuan yang menyusui ditanggung oleh ayah bayi itu.
Demikian uraian mengenai ketentuan pemeliharaan anak danbatas-batasnya yang menjadi tanggung jawab orang tua terutama ayah sebagai kepala rumah tangga dan pelindung keluarga, bagi istri dan anak-anaknya.
2.      Tanggung Jawab terhadap Anak Bila Terjadi Perceraian
Pada dasarnya orang tua bertanggung jawab atas pemeliharaan anak-anaknya, baik orang tua dalam keadaan rukun maupun dalam keadaan sudah bercerai.
Pemeliharaan anak biasa disebut hadanah dalam kajian fikih. Hadanah adalah memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.
Tanggung jawab seorang ayah kepada anaknya tidak dapat gugur walaupun ia sudah bercerai dengan istrinya atau ia sudah kawin lagi. Dapat juga dipahami bahwa ketika anak itu masih kecil maka pemeliharaannya merupakan hak ibu, namun biaya ditanggung oleh ayahnya. Anak yang belum mumayyiz maka ibu mendapat prioritas utama untuk mengasuh anaknya. Apabila anak yang sudah mumayyiz maka sang anak berhak memilih di antara ayah atau ibunya yang ia ikuti.
E.     PERWALIAN
Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum. 

1 komentar: