Minggu, 16 September 2012

MAHAR, PENCATATAN, AKTA NIKAH, LARANGAN, PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN


MAHAR, PENCATATAN, AKTA NIKAH, LARANGAN, PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

A.    MAHAR/MASKAWIN
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam (Pasal 1 huruf d KHI). Pemberian tersebut merupakan syarat sahnya perkawinan. Hal ini berdasarkan Firman Allah Surah An-Nisaa’ (4) ayat 4.
Pasal 30 sampai pasal 38 Kompilasi Hukum Islam mengemukakan garis hukum ketentuan mahar, pasal 30, menunjukan bahwa calon mempelai pihak laki-laki berkewajiban untuk menyerahkan sejumlah mahar kepada calon mempelai perempuan.
Pasal 31 menunjukan nilai-nilai ibadah kepada Allah yang mewujudkan hak dan kewajiban yang bernilai ibadah di antara pihak calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita.
Pasal 32 menunjukan bahwa mahar sebagai hak asasi bagi pihak calon mempelai wanita. Sesuai keikhlasan pemilik hak asasi.
Pasal 33 menunjukan penyerahan mahar dilakukan secara langsung. Apabila disetujui oleh mempelai wanita mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian.
Pasal 34 menunjukan bahwa mahar bukan rukun dalam melaksanakan perkawinan, melainkan salah satu syarat sahnya suatu hubungan perkawinan antara suami dengan istrinya.
Pasal35 menunjukan apabila terjadi talak suami wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah. Apabila suami meninggal dunia seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istrinya. Apabila terjadi perceraian tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar.
Pasal 36 menunjukan apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya.
Pasal 37 menunjukan apabila terjadi selisih pendapat jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke pengadilan agama.
Pasal 38 menunjukan apabila mahar yang diserahkan cacat atau kurang calon mempelai wanita dapat menerima atau menolak mahar tersebut.

B.     PENCATATAN PERKAWINAN DAN AKTA NIKAH
1.      PENCATATAN PERKAWINAN
Alquran dan Alhadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun dirasakanoleh masyarakat mengenai pentingnya hal itu sehingga diatur melalui perundang-undangan. Pencatatan perkawinan bertujuan unutk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Realisasi pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah yang masing-masing dimiliki oleh istri dan suami salinannya.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan era baru bagi kepentingan umat Islam Khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Undang-undang dimaksudkan kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional yang menempatkan hukum islam mempunyai eksistensi tersendiri, tanpa diresepsi oleh hukum adat. Pencatatan perkawinan seperti diatur dalam pasal 2 ayat (2) meskipun telah disosialisasikan selama 26 tahun lebih, sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala-kendala. Akibat adanya kendala pemahaman fikih imam Syafi’I yang sudah membudaya di kalangan umat Islam Indonesia. Menurut paham mereka, perkawinan telah dianggap cukup bila syarat dan rukunnya sudah terpenuhi, tanpa diikuti oleh pencatatan, apalagi akta nikah.
2.      Akta Nikah
Setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan pihak wanita untuk melangsungkan perkawinan, kemudian kesepakatan itu diumumkan pihak pegawai Pencatat Nikah dan tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana dimaksud, perkwinan dapat dilangsungkan. Ketentuan dan tata caranya diatur dalam pasal 10 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Kalau perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, Pegawai Pencatat Menyimpan Akta Nikah dan salinannya seperti diatur dalam pasal 12 PP Nomor 9 Tahun 1975/ dalam akta nikah dilampirkan naskah perjanjian perkawinan yang biasa disebut taklik talak atau penggantungan talak, yaitu teks yang dibaca oleh suami sesudah akad nikah sebagai janji setia terhadap istrinya.
Akta Nikah menjadi bukti autentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Akta nikah juga berfungsi untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum ke pengadilan tidak dapat dilakukan.
Kajian ini dapat dipahami bahwa pencatatan perkawinan dan Akta Nikahnya merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh penduduk yang mendiami wilayah Negara Republik Indonesia.
C.    LARANGAN PERKAWINAN
Larangan perkawinan dalam hukum Perkawinan Islam ada dua macam yaitu larangan selama-lamanya terinci dalam pasal 39 KHI dan larangan sementara pasal 40 sampai pasal 44 KHI.
1.      Larangan Perkawinan Selama-lamanya
Larangan perkawinan bagi seorang pria dengan seorang wanita selama-lamanya atau wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang pria selama-lamanya mempunyai beberapa sebab. Pasal 39 KHI mengungkapkan :” Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan, karena pertalian nasab, pertalian kerabat, pertalian sesusuan.
2.      Larangan Perkwinan dalam Waktu Tertentu
Larangan perkawinan dalam waktu tertentu bagi seorang pria dengan seorang wanita, diungkapkan secara rinci dalam pasal 40 sampai 44 KHI. Pasal 40 melarang seorang pria melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita karena wanita yang bersangkutan masih terkait satu perkawinan, seorang wanita masih berada dalam masa iddah, seorang wanita yang tidak beragama islam. Pasal 41, seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau seibu serta keturunannya. Pasal 42 KHI seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila seorang pria tersebut sedang mempunyai 4 orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i. pasal 43 KHI melarang seorang pria melangsungkanperkawinan dengan seorang bekas istrinya yang ditalak tiga kali, dan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an. Pasal 44 KHI melarang seorang wanita Islam melangsungkan perkawinan dengan seorang pria tidak beragama Islam.


D.    PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN
1.      Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan adalahmenghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam yang diundangkan. Pencegahan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan berdasarkan hukum Islam yang termuat dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawina.
Pencegahan perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi 2 persyaratan. Pertama, syarat materiil adalah syart yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, Akta Nikah, dan larangan perkawinan. Kedua, syarat administrative adalah syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan, yang meliputi calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi, wali dan pelaksanaan akad nikahnya, juga harus diperhatikan. Upaya pencegahan perkawinan tidak menimbulkan kerancuan sehingga baik Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam mengatur siapa-siapa yang berhak untuk mengajukan pencegahan Perkawinan dimaksud. Pasal 14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan, yang dapat mencegah perkawinan ialah keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai.
Pencegahan perkawinan di Indonesia berdasarkan Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam benuansa menutup kemungkinan munculnya kemudaratan terhadap pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan.
2.      Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan adalaha pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akad nikah. Oleh karena itu, akan dikaji mengenai langkah-langkah pembatalan setelah perkawinan selesai dilangsungkan, dan diketahui adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi menurut pasal 22 Undang-undang Perkawinan. Bila rukun yang tidak terpenuhi berarti penikahannya yang tidak sah. Perkawinan dapat dibatalkan baik berdasarkan pasal 22, 24, 26, dan 27 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun yang berdasarkan pasal 70 dan 71 KHI.
Suami dan istri dalam proses pembatalan perkawinannya di pengadailan agama, tidak melakukan hubungan pergaulan. Hal ini dimaksudkan supaya tidak melanggar prinsip-prinsip hukum islam. Garis hukum Islam yang diatur oleh pasal 76 KHI adalah untuk melindungi kemaslahatan dan kepentingan hukum serta masa depan anak-anak yang lahir dari perkawinan yang akan dibatalkan oleh pengadilan agama, sehingga kekeliruan orang tua tidak dapat dilimpahkan kepada anak-anaknya.
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar