MAHAR, PENCATATAN, AKTA NIKAH,
LARANGAN, PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN
A.
MAHAR/MASKAWIN
Mahar
adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik
berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam
(Pasal 1 huruf d KHI). Pemberian tersebut merupakan syarat sahnya perkawinan.
Hal ini berdasarkan Firman Allah Surah An-Nisaa’ (4) ayat 4.
Pasal
30 sampai pasal 38 Kompilasi Hukum Islam mengemukakan garis hukum ketentuan
mahar, pasal 30, menunjukan bahwa calon mempelai pihak laki-laki berkewajiban
untuk menyerahkan sejumlah mahar kepada calon mempelai perempuan.
Pasal
31 menunjukan nilai-nilai ibadah kepada Allah yang mewujudkan hak dan kewajiban
yang bernilai ibadah di antara pihak calon mempelai laki-laki kepada calon
mempelai wanita.
Pasal
32 menunjukan bahwa mahar sebagai hak asasi bagi pihak calon mempelai wanita.
Sesuai keikhlasan pemilik hak asasi.
Pasal
33 menunjukan penyerahan mahar dilakukan secara langsung. Apabila disetujui
oleh mempelai wanita mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk
sebagian.
Pasal
34 menunjukan bahwa mahar bukan rukun dalam melaksanakan perkawinan, melainkan
salah satu syarat sahnya suatu hubungan perkawinan antara suami dengan
istrinya.
Pasal35
menunjukan apabila terjadi talak suami wajib membayar setengah mahar yang telah
ditentukan dalam akad nikah. Apabila suami meninggal dunia seluruh mahar yang
ditetapkan menjadi hak penuh istrinya. Apabila terjadi perceraian tetapi
besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar.
Pasal
36 menunjukan apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti
dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya.
Pasal
37 menunjukan apabila terjadi selisih pendapat jenis dan nilai mahar yang
ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke pengadilan agama.
Pasal
38 menunjukan apabila mahar yang diserahkan cacat atau kurang calon mempelai
wanita dapat menerima atau menolak mahar tersebut.
B.
PENCATATAN
PERKAWINAN DAN AKTA NIKAH
1. PENCATATAN
PERKAWINAN
Alquran
dan Alhadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun
dirasakanoleh masyarakat mengenai pentingnya hal itu sehingga diatur melalui
perundang-undangan. Pencatatan perkawinan bertujuan unutk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat. Realisasi pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah
yang masing-masing dimiliki oleh istri dan suami salinannya.
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 merupakan era baru bagi kepentingan umat Islam Khususnya dan
masyarakat Indonesia pada umumnya. Undang-undang dimaksudkan kodifikasi dan
unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional yang menempatkan hukum islam
mempunyai eksistensi tersendiri, tanpa diresepsi oleh hukum adat. Pencatatan
perkawinan seperti diatur dalam pasal 2 ayat (2) meskipun telah disosialisasikan
selama 26 tahun lebih, sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala-kendala.
Akibat adanya kendala pemahaman fikih imam Syafi’I yang sudah membudaya di
kalangan umat Islam Indonesia. Menurut paham mereka, perkawinan telah dianggap
cukup bila syarat dan rukunnya sudah terpenuhi, tanpa diikuti oleh pencatatan,
apalagi akta nikah.
2. Akta
Nikah
Setelah
adanya kesepakatan antara pihak pria dan pihak wanita untuk melangsungkan
perkawinan, kemudian kesepakatan itu diumumkan pihak pegawai Pencatat Nikah dan
tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana dimaksud,
perkwinan dapat dilangsungkan. Ketentuan dan tata caranya diatur dalam pasal 10
PP Nomor 9 Tahun 1975.
Kalau
perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, Pegawai Pencatat
Menyimpan Akta Nikah dan salinannya seperti diatur dalam pasal 12 PP Nomor 9
Tahun 1975/ dalam akta nikah dilampirkan naskah perjanjian perkawinan yang
biasa disebut taklik talak atau
penggantungan talak, yaitu teks yang dibaca oleh suami sesudah akad nikah
sebagai janji setia terhadap istrinya.
Akta
Nikah menjadi bukti autentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat
menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang suami atau istri melakukan
suatu tindakan yang menyimpang. Akta nikah juga berfungsi untuk membuktikan
keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum
ke pengadilan tidak dapat dilakukan.
Kajian
ini dapat dipahami bahwa pencatatan perkawinan dan Akta Nikahnya merupakan
ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh penduduk yang mendiami
wilayah Negara Republik Indonesia.
C.
LARANGAN
PERKAWINAN
Larangan
perkawinan dalam hukum Perkawinan Islam ada dua macam yaitu larangan
selama-lamanya terinci dalam pasal 39 KHI dan larangan sementara pasal 40 sampai
pasal 44 KHI.
1. Larangan
Perkawinan Selama-lamanya
Larangan
perkawinan bagi seorang pria dengan seorang wanita selama-lamanya atau
wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang pria selama-lamanya mempunyai
beberapa sebab. Pasal 39 KHI mengungkapkan :” Dilarang melangsungkan perkawinan
antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan, karena pertalian nasab,
pertalian kerabat, pertalian sesusuan.
2. Larangan
Perkwinan dalam Waktu Tertentu
Larangan
perkawinan dalam waktu tertentu bagi seorang pria dengan seorang wanita,
diungkapkan secara rinci dalam pasal 40 sampai 44 KHI. Pasal 40 melarang
seorang pria melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita karena wanita yang
bersangkutan masih terkait satu perkawinan, seorang wanita masih berada dalam
masa iddah, seorang wanita yang tidak beragama islam. Pasal 41, seorang pria
dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan
pertalian nasab atau seibu serta keturunannya. Pasal 42 KHI seorang pria
dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila seorang pria
tersebut sedang mempunyai 4 orang istri yang keempat-empatnya masih terikat
tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i. pasal 43 KHI melarang
seorang pria melangsungkanperkawinan dengan seorang bekas istrinya yang ditalak
tiga kali, dan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an. Pasal 44 KHI melarang
seorang wanita Islam melangsungkan perkawinan dengan seorang pria tidak
beragama Islam.
D.
PENCEGAHAN
DAN PEMBATALAN PERKAWINAN
1. Pencegahan
Perkawinan
Pencegahan
perkawinan adalahmenghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam
yang diundangkan. Pencegahan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri
yang akan melangsungkan perkawinan berdasarkan hukum Islam yang termuat dalam
Pasal 13 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu perkawinan dapat dicegah,
apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawina.
Pencegahan
perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi 2 persyaratan. Pertama, syarat
materiil adalah syart yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, Akta Nikah,
dan larangan perkawinan. Kedua, syarat administrative adalah syarat perkawinan
yang melekat pada setiap rukun perkawinan, yang meliputi calon mempelai
laki-laki dan wanita, saksi, wali dan pelaksanaan akad nikahnya, juga harus
diperhatikan. Upaya pencegahan perkawinan tidak menimbulkan kerancuan sehingga
baik Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam mengatur siapa-siapa
yang berhak untuk mengajukan pencegahan Perkawinan dimaksud. Pasal 14 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan, yang dapat mencegah perkawinan ialah keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali
pengampu dari salah seorang calon mempelai.
Pencegahan
perkawinan di Indonesia berdasarkan Undang-undang perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam benuansa menutup kemungkinan munculnya kemudaratan terhadap
pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan.
2. Pembatalan
Perkawinan
Pembatalan
perkawinan adalaha pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akad
nikah. Oleh karena itu, akan dikaji mengenai langkah-langkah pembatalan setelah
perkawinan selesai dilangsungkan, dan diketahui adanya syarat-syarat yang tidak
terpenuhi menurut pasal 22 Undang-undang Perkawinan. Bila rukun yang tidak terpenuhi
berarti penikahannya yang tidak sah. Perkawinan dapat dibatalkan baik
berdasarkan pasal 22, 24, 26, dan 27 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun
yang berdasarkan pasal 70 dan 71 KHI.
Suami
dan istri dalam proses pembatalan perkawinannya di pengadailan agama, tidak
melakukan hubungan pergaulan. Hal ini dimaksudkan supaya tidak melanggar
prinsip-prinsip hukum islam. Garis hukum Islam yang diatur oleh pasal 76 KHI
adalah untuk melindungi kemaslahatan dan kepentingan hukum serta masa depan
anak-anak yang lahir dari perkawinan yang akan dibatalkan oleh pengadilan
agama, sehingga kekeliruan orang tua tidak dapat dilimpahkan kepada
anak-anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar