Minggu, 16 September 2012

Kajian Kritis Terhadap Pasal 34 ayat 1 UUD 1945


Kajian Kritis Terhadap Pasal 34 ayat 1 UUD 1945
  Undang - Undang Dasar 1945 adalah Landasan konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para pendiri negeri ini telah merumuskannya, sejak Bangsa Indonesia Merdeka dari jajahan para kolonialisme. UUD 1945 adalah sebagai hukum dasar tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD 1945 telah di amandemen empat kali pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 yang telah menghasilkan rumusan Undang - Undang Dasar yang jauh lebih kokoh menjamin hak konstitusional warga negara.                          
Gepeng , anak jalanan, pemerintah, dan UUD 1945 Pasal 34 ayat 1 saling berhubungan, lihat UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 yang  berbunyi Fakir Miskin dan anak - anak yang terlantar dipelihara oleh negara. UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 tersebut mempunyai makna bahwa gepeng dan anak - anak jalanan dipelihara atau diberdayakan oleh negara yang dilaksanakan oleh pemerintah. Fakir ialah orang yang tidak berdaya karena ridak mempunyai pekerjaan apalagi penghasilan, dan juga mereka tidak mempunyai sanak saudara di bumi ini. Miskin ialah orang yang sudah memiliki penghasilan tapi tidak mencukupi pengeluaran kebutuhan mereka, tapi mereka masih mempunyai keluarga yang sekiranya masih mampu membantu mereka yang miskin. Jadi Fakir miskin dapat dikatakan orang yang harus kita bantu kehidupannya dan pemerintahlah yang seharusnya lebih peka akan keberadaan mereka.  
Fakir miskin disini dapat digambarkan melalui gepeng-gelandangan dan pengemis. Masih banyak kita melihat di perkotaan dan di daerah para gepeng yang mengemis di jalanan, pusat keramaian, lampu merah, rumah ibadah, sekolah maupun kampus. Anak - anak terlantar seperti  anak - anak jalanan, anak yang ditinggali orang tuanya karena kemiskinan yang melandanya. Ironis memang, masih banyak gepeng dan anak jalanan yang berada di jalan dan meningkat setiap tahunnya, bahkan mereka menjadi bisnis baru dari pihak - pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini harusnya menjadi tamparan bagi pemerintah yang mengempanyekan menekan angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin, dan tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 yaitu Fakir Miskin dan anak - anak terlantar dipelihara oleh negara. Dimana peran pemerintah untuk menjalankan pasal tersebut, dan sudah jelas di pembukaan UUD 1945 yaitu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk    memajukan  mensejahterakan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, hal ini seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah bukan hanya sebagai kiasan saja.                
Berbanding terbalik dengan amanat UUD 1945, saya melihat di berbagai media bahwa penertiban gepeng dan anak jalanan tidak berlandaskan nilai kemanusiaan, mereka di paksa bahkan sampai mereka berasa sakit ketika digiring oleh petugas ke mobil penertiban, seperti nangkap ayam, lalu mereka dibawa di tempat rehabilitasi sosial untuk di data dan setelah itu dilepaskan kembali dan lagi - lagi menghiasi jalanan, perempatan lampu merah, bus, tempat ibadah dan tempat keramaian lainnya. Sedikit sekali dari mereka-gepeng dan anak jalanan yang diberdayakan atau disekolahkan. Walaupun pemprov DKI Jakarta mengeluarkan undang - undang tentang pelarangan pemberian uang dan apapun dengan tujuan menekan angka gepeng dan anak jalanan, tapi tetap saja tidak efektif. Serta Pemkot Bandung yang telah mengeluarkan Perda tentang penyelengaraan ketertiban, kebersihan dan keindahan, Siklus itu tetap berjalan walaupun tanpa hasil yang nyata untuk memelihara atau memberdayakan dan mengurangi jumlah gepeng dan anak jalanan. Gepeng dan Anak Jalanan juga merupakan manusia yang kurang beruntung. Akibat pemerintah tidak menjalankan amanat UUD 1945 dengan sungguh - sungguh, banyak sekali dari gepeng dan anak jalanan yang menjadi korban kejahatan, lihat saja kasus mutilasi anak jalanan di daerah pulogadung, tragis memang tapi itulah yang terjadi , selain itu gepeng dan anak jalanan juga dimanfaatkan oleh pihak - pihak yang tidak bertanggung jawab, demi kepentingan pihak tersebut dengan membisniskan mereka untuk meningkatkan kesejahteraan pihak tersebut dan pelecehan seksual, acapkali terjadi terhadap gepeng dan anak jalanan. Andai saja pemerintah mau memperhatikan dan memberdayakan secara sungguh - sungguh mungkin hal yang buruk itu tidak terjadi bahkan angka kemiskinan akan berkurang. Gepeng dan anak Jalanan tidak akan bertambah bahkan tidak akan ada jikalau di daerah perdesaan atau tempat mereka berasal memiliki lapangan pekerjaan dan tidak tersentralisasinya pembangunan di perkotaan saja. Semoga  tulisan ini menjadi alat pacu pemerintah dan kita semua untuk menjalankan amanat UUD 1945.

Fungsi Hukum


Fungsi Hukum
http://id.shvoong.com/images/spacer.gif?s=summarizer&d=1336660800850&id=273206cf-974b-4c4a-9b0e-9e13b6659030
Seperti diketahui bahwa di dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat berbagai kepentingan dari warganya. Di antara kepentingan itu ada yang bisa selaras dengan kepentingan yang lain, tetapi ada juga kepentingan yang memicu konflik dengan kepentingan yang lain. Untuk keperluan tersebut, hukum harus difungsikan menurut fungsi-fungsi tertentu untuk mencapai tujuannya. Dengan kata lain, fungsi hukum adalah menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan konflik yang terjadi.
Fungsi hukum menurut Franz Magnis Suseno, adalah untuk mengatasi konflik kepentingan. Dengan adanya hukum, konflik itu tidak lagi dipecahkan menurut siapa yang paling kuat, melainkan berdasarkan aturan yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai objektif dengan tidak membedakan antara yang kuat dan yang lemah, dan orientasi itu disebut keadilan.
Dalam pandangan Achmad Ali, bahwa fungsi hukum itu dapat dibedakan ke dalam :
a. fungsi hukum sebagai “a tool of social control”,
b. fungsi hukum sebagai “a tool of social engineering”,
c. fungsi hukum sebagai simbol,
d. fungsi hukum sebagai “a political instrument”,
e. fungsi hukum sebagai integrator.
Menurut Lawrence M. Friedmann, dalam bukunya “Law and Society an Introduction”, fungsi hukum adalah :

a. pengawasan/pengendalian sosial (social control) ;
b. penyelesaian sengketa (dispute settlement) ;
c. rekayasa sosial (social engineering).
Berkaitan dengan fungsi hukum, Muchtar Kusumaatmadja, mengajukan konsepsi hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat, yang secara singkat dapat dikemukakan pokok-pokok pikiran beliau, bahwa fungsi hukum di dalam pembangunan sebagai sarana pembaruan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaruan merupakan suatu yang dianggap penting dan sangat diperlukan. Di samping itu, hukum sebagai tata kaedah dapat berfungsi untuk menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaruan. Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh hukum di samping fungsinya yang tradisional, yakni untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban.
Theo Huijbers, menyatakan bahwa fungsi hukum ialah memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia, mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Sedangkan dalam pandangan Peters, yang menyatakan bahwa fungsi hukum itu dapat ditinjau dari tiga perspektif :
1. Perspektif kontrol sosial daripada hukum. Tinjauan ini disebut tinjauan dari sudut pandang seorang polisi terhadap hukum (the policement view of the law).
2. Perspektif social engineering, merupakan tinjauan yang dipergunakan oleh para penguasa (the official perspective of the law), dan karena pusat perhatian adalah apa yang diperbuat oleh penguasa dengan hukum.
3. Perspektif emansipasi masyarakat daripada hukum. Perspektif ini merupakan tinjauan dari bawah terhadap hukum (the bottom’s up view of the law) dan dapat pula disebut perspektif konsumen (the consumer’s perspective of the law).
Dari beberapa pendapat pakar hukum mengenai fungsi hukum di atas, dapatlah dikatakan bahwa fungsi hukum, sebagai berikut :
a. Memberikan pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk berprilaku.
b. Pengawasan atau pengendalian sosial (social control).
c. Penyelesaian konflik atau sengketa (dispute settlement).
d. Rekayasa sosial (social engineering).
Fungsi hukum sebagai pedoman atau pengarah prilaku, kiranya tidak memerlukan banyak keterangan, mengingat bahwa hukum telah disifatkan sebagai kaedah, yaitu sebagai pedoman prilaku, yang menyiratkan prilaku yang seyogianya atau diharapkan diwujudkan oleh masyarakat apabila warga masyarakat melakukan suatu kegiatan yang diatur oleh hukum.
Hukum sebagai sarana pengendali sosial, menurut A. Ross sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto, adalah mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Ross menganut teori imperatif tentang fungsi hukum dengan banyak menghubungkannya dengan hukum pidana. Dalam kaitan ini, hukum sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari ancaman maupun perbuatan yang membahayakan diri serta harta bendanya. Misalnya dapat dikemukakan perbuatan kejahatan penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP. Norma ini jelas merupakan sarana pemaksa yang berfungsi untuk melindungi warga masyarakat terhadap perbuatan yang mengakibatkan terjadinya penderitaan pada orang lain.
Pengendalian sosial (social control) dari hukum, pada dasarnya memaksa warga masyarakat agar berprilaku sesuai dengan hukum, Dengan kata lain, pengendalian sosial daripada hukum dapat bersifat preventif maupun represif. Preventif merupakan suatu usaha untuk mencegah prilaku yang menyimpang, sedangkan represif bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang terganggu.
Hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa (dispute settlement). Di dalam masyarakat berbagai persengketaan dapat terjadi, misalnya antara keluarga yang dapat meretakan hubungan keluarga, antara mereka dalam suatu urusan bersama (company), yang dapat membubarkan kerjasama. Sengketa juga dapat mengenai perkawinan atau waris, kontrak, tentang batas tanah, dan sebagainya. Adapun cara-cara penyelesaian sengketa dalam suatu masyarakat, ada yang diselesaikan melalui lembaga formal yang disebut dengan pengadilan, dan ada yang diselesaikan secara sendiri oleh orang-orang yang bersangkutan dengan mendapat bantuan dari orang yang ada di sekitarnya. Hal ini bertujuan untuk mengukur, sampai berapa jauh terjadi pelanggaran norma dan apa yang harus diwajibkan kepada pelanggar supaya yang telah dilanggar itu dapat diluruskan kembali.
Hukum sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering), menurut Satjipto Rahardjo, tidak saja digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan pada tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandang tidak sesuai lagi dengan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Dengan demikian, hukum dapat berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat.

Kedudukan hukum adat setelah lahirya undang undang no.1 tahun 1974


Kedudukan hukum adat setelah lahirya
undang undang no.1 tahun 1974


Kedudukan dan Peranan Hukum Adat
1. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi Pembangunan Hukum Nasional, yang menuju Kepada Unifikasi pembuatan peraturan perundangan dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuhnya dan berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum.
2. Pengambilan bahan-bahan dari hukum adatadalam penyusunan Hukum Nasional pada dasarnya berarti:
- Penggunaan konsepsi-konsepsi dan azas-azas hukum dari hukum adat untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar.
- Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang dimodernisir dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri dan sifat-sifat kepribadian Indonesianya.
- Memasukkan konsep-konsep dan azas-azas hukum adat ke dalam lembaga-lembaga hukum dari hukum asing yang dipergunakan untuk memperkaya dan memperkembangkan Hukum Nasional, agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
3. Di dalam pembinaan hukum harta kekayaan nasional, hukum adat merupakan salah satu unsur sedangkan di dalam pembinaan hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan nasional merupakan intinya.
4. Dengan terbentuknya hukum nasional yang mengandung unsur-unsur hukum adat, maka kedudukan dan peranan hukum adat itu telah terserap di dalam hukum nasional.
a. Hukum Adat dalam Perundang-Undangan
1. Hukum Adat, melalui perundang-undangan, putusan hakim, dan ilmu hukum hendaknya dibina ke arah Hukum Nasional secara hati-hati.
2. Hukum Perdata Nasional hendaknya merupakan hukum kesatuan bagi seluruh rakyat Indonesia dan diatur dalam Undang-Undang yang bersifat luwes yang bersumber pada azas-azas dan Jiwa hukum adat.
3. Kodifikasi dan Unifikasi hukum dengan menggunakan bahan-bahan dari hukum adat, hendaknya dibatasi pada bidang-bidang dan hal-hal yang sudah mungkin dilaksanakan pada tingkat nasional. Bidang-bidang hukum yang diatur oleh hukum adat atau hukum kebiasaan lain yang masih bercorak lokal ataupun regional, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak menghambat pembangunan masih diakui berlakunya untuk kemudian dibina ke arah unifikasi hukum demi persatuan bangsa.
4. Menyarankan untuk segera mengadakan kegiatan-kegiatan unifikasi hukum harta kekayaan adat yang tidak erat hubungannya dengan kehidupan spirituil dan hukum harta kekayaan barat, dalam perundang-undangan sehingga terbentuknya hukum harta kekayaan nasional.
5. Menyarankan agar dalam mengikhtiarkan pengarahan hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan kepada unifikasi hukum nasional dilakukan melalui lembaga peradilan.
6. Hendaklah dibuat Undang-undang yang mengandung azas-azas pokok hukum perundang-undangan yang dapat mengatur politik hukum, termasuk kedudukan hukum adat.
b. Hukum Adat dalam Putusan Hakim
1. Hendaklah hukum adat kekeluargaan dan kewarisan lebih diperkembangkan ke arah hukum yang bersifat bilateral/parental yang memberikan kedudukan yang sederajat antara pria dan wanita.
2. Dalam rangka pembinaan Hukum Perdata Nasional hendaknya diadakan publikasi jurisprudensi yang teratur dan tersebar luas.
3. Dalam hal terdapat pertentangan antara undang-undang dengan hukum adat hendaknya hakim memutus berdasarkan undang-undang dengan bijaksana.
4. Demi terbinanya Hukum Perdata Nasional yang sesuai dengan politik hukum negara kita, diperlukan hakim-hakim yang berorientasi pada pembinaan hukum.
5. Perdamaian dan kedamaian adalah tujuan tiap masyarakat karena itu tiap sengketa Hukum hendaklah diusahakan didamaikan.
c. Pengajaran dan Penelitian
1. Pendidikan hukum bertujuan untuk menghasilkan sarjana hukum yang memiliki pengetahuan tentang hukum dan lingkungan sosial ketrampilan teoritis dan praktis dan berkepribadian. Dalam pengajaran hukum maka sepatutnya diajarkan pula metode dan teknik penelitian hukum sebagai mata kuliah tersendiri supaya dapat menunjang penelitian hukum lainnya.
2. Penelitian-penelitian hukum adat seyogyanya memprioritaskan identifikasi dan inventarisasi hukum adat masyarakat-masyarakat setempat untuk kepentingan pembinaan hukum nasional maupun untuk kepentingan pelaksanaan penegakan hukum dan pendidikan umum. Pelaksanaan hal-hal yang dinyatakan tadi dilakukan menurut tahap-tahap sebagai berikut:
- Identifikasi dan inventarisasi daerah-daerah yang hukum adatnya pernah diteliti dan belum pernah diteliti.
- Melakukan penelitian terhadap daerah-daerah yang belum pernah diteliti hukum adatnya dan mengadakan penelitian kembali terhadap daerah yang pernah diteliti hukum adatnya.
- Penulisan-penulisan monografis terhadap hasil-hasil penelitian sub b di atas agar dapat dijadikan pegangan bagi pembentuk hukum, pelaksana hukum dan pendidikan hukum.

SEBAB-SEBAB ADA DAN HILANGNYA HAK SERTA SYARAT-SYARAT HUKUM KEWARISAN ISLAM


SEBAB-SEBAB ADA DAN HILANGNYA HAK SERTA SYARAT-SYARAT HUKUM KEWARISAN ISLAM

A.    SEBAB-SEBAB ADANYA HAK KEWARISAN ISLAM
            Penyebab adanya hak untuk mewarisi harta seseorang yang telah meninggal dunia menurut Alquran, hadis Rasulullah, dan Kompilasi Hukum Islam, ditemukan dua penyebab, yaitu (1) hubungan kekerabatan, (2) hubungan perkawinan.
1.      Hubungan kekerabatan
            Hubungan kekerabatan atau biasa disebut sebagai hubungan nasab ditentukan oleh adanya hubungan darah dan adanya hubungan darah dapat diketahui pada saat adanya kelahiran. Tidak dapat diingkari oleh siapa pun karena setiap anak yang lahir dari rahim ibunya sehingga berlaku hubungan kekerabatan secara ilmiah antara seorang anak dengan ibu yang melahirkan.
            Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayah ditentukan oleh adanya akad nikah yang sah antara ibu dengan ayah.
2.      Hubungan Perkawinan
            Hubungan perkawinan, dalam kaitannya dengan hukum kewarisan Islam, berarti hubungan perkawinan yang sah menuruthukum Islam. Apabila seorang suami meninggal dan meninggalkan harta warisan dan janda, maka janda itu termasuk ahli warisnya.
B.     SEBAB-SEBAB HILANGNYA HAK KEWARISAN DALAM ISLAM
            Sebab-sebab hilangnya hak untuk mendapatkan harta warisan, ada 2 penyebab, (1) perbedaan agama antara pewaris dengan ahli waris, (2) ahli waris membunuh pewaris.
1.      Perbedaan agama
            Perbedaan agama merupakan penyebab hilangnya hak kewarisan sebagai mana ditegaskan bahwa seorang muslim tidak menerima warisan dari yang bukan muslim dan yang bukan muslim tidak menerima warisan dari seorang muslim.
2.      Pembunuhan
            Pembunuhan menghalangi seorang untuyk mendapatkan warisan dari waris yang dibunuhnya. Seorang yang membunuh pewarisnya tidak berhak menerima warisan dari orang yang dibunuhnya itu.

C.    SYARAT-SYARAT PELAKSANAAN HUKUM KEWARISAN ISLAM
            syarat-syarat adanya pelaksan hukum kewarisan Islam, ditemukan 3 syarat, yaitu (1) kepastian meninggalnya orang yang mempunyai harta, (2) kepastian hidupnya ahli waris ketika pewaris meninggal dunia, (3) diketahui sebab-sebab status masing-masing ahli waris. Meninggalnya pemilik harta dan hidupnya ahli waris merupakan pedoman untuk menetapkan peristiwa pelaksanaan hukum kewarisan Islam. Penetapan pemilik harta meninggal dan ahli waris hidup sebagai syarat mutlak menentukan terjadinya kewarisan dalam huku Islam, berarti hukum kewarisan Islam bertujuan untuk menyelesaikan secara tuntas masalah harta warisan orang yang meninggal, orang yang hilang tanpa kabar, dan anak yang hidup dalam kandungan sebagai ahli waris menunjukan bahwa hukum kewarisan Islam mempunyai karakteristik dalam menyelesaikan semua permasalahan yang mungkin timbul dalam kasus kewarisan.
D.    UNSUR-UNSUR HUKUM KEWARISAN ISLAM
            Unsur-unsur hukum Kewarisan Islam dalam pelaksanaan hukum kewarisan di Indonesia, ada tiga unsur yang diuraikan.
1.      Pewaris
            Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama islam meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Sepanjang belum jelas meninggalnya seseorang hartanya tetap menjadi miliknya sebagaiman halnya orang yang masih hidup. Demikian juga, bila belum ada kepastian meninggal seseorang maka orang itu dipandang masih hidup. Kepastian meninggal seseorang itu, dimungkinkan secara haqiqy, hukmy, dan taqdiry.
2.      Harta warisan
            Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran utang serta wasiat pewaris.
            Kewajiban yang harus dilakukan ahli waris sebelum melakukan pembagian harta peninggalan pewaris, yaitu biaya pengurusan jenazah, pelunasan utang pewaris, menunaikan wasiat pewaris.
3.      Ahli waris
            Ahli waris adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum menjadi ahli waris.
a.       Ahli waris kerabat (nasab)
1.      Anak
2.      Ibu Bapak
3.      Saudara
4.      Ahli waris pengganti (wali)
b.      Ahli Waris dari Adanya Ikatan Perkawinan
            Ahli waris dari adanya ikatan hukum perkawinan adalah duda dan/atau janda.
c.       Metode Pemecahan Kasus-Kasus kewarisan
            Metode pemecahan kasus-kasus kewarisan terdiri dari awl dan rad. Awl dan rad merupakan dua metode yang khas yang hanya dijumpai dalam hukum kewarisan Islam.
1.      Awl
            Awl adalah suatu cara penyelesaian kasus kewarisan bila terjadi ketekoran dalam pembagian harta warisan, yaitu para ahli yang berhak , menerima harta warisan, jumlahnya lebih banyak dari harta warisan yang akan dibagi. Untuk menghilangkan ketekoran itu supaya pembagiannya menjadi 1/1, dilakukan pengurangan terhadap pembagian masing-masing ahli waris secara berimbang.
2.      Rad
            Rad adalah sisa dari harta warisan sesudah dikeluarkan bagian dzul faraid, sisa itu disebut Hazairin sisa kecil,maka sisa tersebut harus ditambahkan kepada semua dzul faraid secara berimbang. Dengan perkataan lain, rad adalah pengembalian sisa bagi secara berimbang kepada semua dzul faraid.
E.     ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM
1.      Ijbari
            Asas ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan hukum Islam mengandung arti bahwa pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendririnya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahliu warisnya.
            Asas ijbari hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu (1) dari pengalihan harta yang pasti terjadi setelah seseorang meninggal dunia. (2) jumlah harta yang sudah ditentukan bagi masing-masing ahli waris. (3) kepastian penerima harta peninggalan, yakni mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan dan ikatan perkawinan.
2.      Asas Bilateral
            Asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak, dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan.
3.      Asas Individual
            Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti bahwa warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Untuk itu, dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.
4.      Asas keadilan berimbang
            Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan Islam berarti keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan dalam melaksanakan kewajiban.
5.      Asas Akibat Kematian
            Asas akibat kematian dalam hukum kewarisan Islam berarti kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia, kewarisan ada sebagai akibat dari meninggalnya seorang. Oleh karena itu, pengalihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup.

HUKUM KEWARISAN ISLAM


HUKUM KEWARISAN ISLAM

A.    DASAR HUKUM KEWARISAN ISLAM
            Dasar hukum kewarisan Islam di Indonesia adalah Alquran, hadis Rasulullah, perundang-undangan, Kompilasi HukumIslam, pendapat para sahabat Rasulullah, dan pendapat ahli hukum Islam melalui itjtihad.
B.     AYAT-AYAT ALQURAN YANG MENGATUR HUKUM KEWARISAN ISLAM DAN PENGALIHAN HAK ATAS HARTA
1.      Alquran Surah An-Nissa’ (4) Ayat 7
            Alquran Surah An-Nissa’ (4) ayat  7 mengandung beberapa garis hukum kewarisan islam, yaitu bagi anak laki-laki ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya; bagi keluarga dekat laki-laki ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan keluarga dekatnya; bagi anak perempuan ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya; bagi keluarga dekat perempuan ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan keluarga dekatnya; ahli waris yang disebutkan pertama sampai dengan keempat ada yang mendapat warisan sedikit dan ada juga yang mendapat banyak; ketentuan pembagian harta warisan garis hukum di tetapkan oleh Allah SWT.
2.      Alquran Surah An-Nissa’ (4) ayat 8
Alquran Surah An-Nissa’ (4) ayat 8 mengandung 3 garis hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum kewarisan hukum kewarisan Islam, yaitu kalau ahli waris membagi harta warisannya dan ada orang yang bukan ahli waris, anak yatim, orang miskin ikut hadir, maka beri mereka yang ikut hadir dari pembagian yang telah diperoleh ahli waris, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
3.      Alquran Surah An-Nissa’ (4) ayat 11
            Alquran Surah An-Nissa’ (4) ayat 11 mengandung tentang beberapa garis hukum kewarisan Islam, di antaranya (1) antara seorang anak laki-laki dengan seorang anak perempuan yaitu 2:1, (2) antara dua orang anak perempuan atau lebih dari dua orang, mereka mendapat dua pertiga dari harta peninggalan, (3) perolehan seorang anak perempuan, yaitu seperdua dari harta peninggalan, (4) perolehan ibu bapak, yang masing-masing seperenam dari harta peninggalan kalau si pewaris mempunyai anak, (5) perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai anak dan saudara, perolehan ibu sepertiga dari harta peninggalan, (6) perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai saudara, maka perolehan ibu seperenam dari harta peninggalan, (7) pelaksanaan pembagian harta termaksud dalam garis hukum itu sesudah dibayarkan wasiat dan utang pewaris.
4.      Alquran Surah An-Nissa’ (4) ayat 12
            Alquran Surah An-Nissa (4) ayat 12 mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam, diantaranya, (1) duda karena kematian mendapat pembagia seperdua dari harta peninggalan istrinya kalau si istri tidak meninggalkan anak, (2) duda karena kematian istri mendapat pembagian seperempat dari harta peninggalan istrinya kalau si istri meninggalkan anak, (3) janda karena kematian suami mendapatkan pembagian seperempat dari harta suami kalau si suami meninggalkan anak, (4) pelaksanaan pembagian termaksud dalam garis hukum tersebut sesudah dibayarkan wasiat dan utang pewaris.
5.      Alquran Surah An-Nissa (4) ayat 33
            Alquran Surah An-Nissa’ (4) ayat 33 mengandung empat garis hukum yaitu (1) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan Mawali (ahli waris pengganti) dari harta peninggalan ibu bapaknya, (2) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti), dari harta peninggalan aqrabunnya(yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (3) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari harta peninggalan tolan seperjanjiannya.
6.      Alquran Surah An-Nissa’ (4) ayat 176
            Alquran Surah An-Nissa’ (4) ayat 176 mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam Yaitu, (1) kalalah, yakni jika seorang meninggal dunia yang tidak ada baginya anak atau mawali anaknya, (2) orang yang meninggal kalalah itu mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagi saudara perempuan itu mendapat bagian ½ dari harta peninggalan, (3) orang yang meninggal kalalah itu ada saudara perempuan dua orang atau lebih, maka pembagian harta warisan bagi mereka 2/3 dari harta peninggalan, (4) orang yang meninggal kalalah itu ada saudara-saudara yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka pembagian seorang saudara laki-laki sama dengan dua orang saudara perempuan.
7.      Alquran Surah Al-Baqarah (2) ayat 180
            Alqurah Surah Al-Baqarah (2) ayat 180 mengandung 3 garis hukum yang berkaitan dengan waisat, yaitu (1) seorang yang dekat kepada mautnya dengan meninggalkan harta, maka diwajibkan baginya menentukan wasiat kepada ibunya secara sepatut-patutnya, (2) diwajibkan baginya menentukan wasiat kepada bapaknya, sepatut-patutnya, (3) diwajibkan baginya menentukan wasiat kepada aqrabunnya, sepatut-patutnya.
8.      Alquran Surah Al-Baqarah (2) ayat 240
            Alquraan Surah Al-Baqarah (2) ayat 240 mengandung 2 garis hukum yang berkaitan dengan wasiat, yaitu (1) seorang yang dekat kepada mautnya dengan meninggalkan seorang istri, hendaklah  berwasiat kepada istri itu, guna pemenuhan nafkah istri selama satu tahun dan tidak boleh dikeluarkan dari rumah suaminya, (2) seorang suami sudah berwaisat kepada istrinya untuk pemenuhan nafkah selama setahun dan menempati rumah suaminya tetapi istri itu dikeluarkan dari rumah suaminya untuk mencari kehidupan yang lebih baik atau yang ma’ruf, maka suami tidak berdosa atas perbuatan istri itu.
9.      Alquran Surah Al-Baqarah (2) ayat 233
            Alquran Surah Al-Baqarah (2) ayat 233 mengandung 5 garis hukum yang berkaitan dengan tanggung jawab seseorang, yaitu (1) ibu-ibu menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh bila ia ingin menyempurnakan masa penyusuannya, (2) ayah berkewajiban menanggung nafkah dan sandang istrinya dengan baik, (3) seorang tidak akan dibebani tanggung jawab lebih dari kemampuannya, (4) jangan seorang ibu dan seorang ayah teraniaya karena anaknya, (5) jika ingin menyuruh utuk disusukan anak, maka berkewajiban menyerahkan apa yang dapat kepada orang yang suruh menyusukan anakmu.
10.  Alquran Surah Al-Ahzab (33) ayat 4
            Alquran Surah Al-Ahzab (33) ayat 4 mengandung garis hukum yang berkaitan dengan hukum kewarisan Islam, yaitu Allah tidak menjadikan anak angkat sebagai ahli waris dari orang yang mengangkatnya. 

PUTUS PERKAWINAN, TATA CARA PERCERAIAN, DAN MASA IDDAH


PUTUS PERKAWINAN, TATA CARA PERCERAIAN, DAN MASA IDDAH

A.    PUTUS PERKAWINAN (KARENA KEMATIAN, PERCERAIAN, DAN PUTUSAN PENGADILAN) SERTA AKIBAT-AKIBATNYA
1.      Putus Perkawinan
Putus perkawinan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Putus ikatan bisa berarti salah seorang di antara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah bercerai, dan salah seorang di antara keduanya pergi ke tempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal.
Perceraian dalam hukum islam adalah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT. Perceraian merupakan alternative terakhir yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternative terakhir dimaksud, berarti sudah ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian di antara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh Alquran dan Alhadis.
Persoalan putusnya perkawinan atau perceraian serta akibat-akibatnya, diatur dalam pasal 38 sampai dengan pasal 41 Undang-undang Perkawinan. Tata cara perceraian diatur dalam pasal 14 sampai dengan pasal 36 peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan tekniknya diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975.
Pasal 113 sampai dengan pasal 162 KHI merumuskan garis hukum yang lebih rinci mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian, tata cara, dan akibat hukumnya. Dalam KHI terdapat tambahan mengenai alasan terjadinya perceraian yang berlaku khusus kepada suami istri (pasangan perawinan) yang memeluk agama islam, yaitu suami melanggar taklik talak, peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
2.      Akibat Putusnya Perkawinan
Akibat hukum yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan maupun hukum yang tertulis dalam KHI. Putusnya ikatan perkawinan dapat dikelompokan menjadi 5 (lima) karakteristik, yaitu:
a.       Akibat Talak
Ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai beberapa akibat hukum berdasarkan pasal 149 KHI.
b.      Akibat perceraian (cerai gugat)
Cerai gugat, yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami) perkawinan.
Pasal 156 KHI mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian(cerai gugat).
c.       Akibat Khulu’
Perceraian yang terjadi akibat Khulu’, yaitu suatu ikatan perkawinan yang putus karena pihak istri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Selain itu, khulu adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suami. Oleh karena itu, khulu adalah perceraian yang terjadi dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk. Hal ini berdasarkan Pasal 161 KHI.
d.      Akibat Li’an
Perceraian yang terjadi sebagai akibat Li’an yaitu ikatan perkawinan yang putus selama-lamanya.  Dengan putusnya perkawinan dimaksud, anak yang dikandung oleh istri dinasabkan kepadanya (ibu anak) sebagai akibat Li’an. Pasal 162 KHI merumuskan garis hukumnya.
e.       Akibat Ditinggal Mati Suami
Ikatan perkawinan putus sebagai akibat meninggalnya suami, maka istri menjalani masa iddah dan bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anaknya serta mendapat bagian harta warisan dari suaminya.
B.     TATA CARA PERCERAIAN
perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, dan kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah perceraian.
Tata cara perceraian bila dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek, yaitu sebagai berikut.
1.      Cerai Talak (Suami yang Bermohon untuk Bercerai)
Apabila suami yang mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menceraikan istrinya, kemudian istrinya menyetujuinya disebut cerai talak. Hal ini diatur dalam pasal 66 UUPA. Sesudah permohonan cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama, pengadilan Agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar diajukannya permohonan tersebut.
2.      Cerai Gugat (Istri yang Bermohon untuk Bercerai)
Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud. Cerai gugat diatur dalam pasal 73 UUPA. Mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan diatur dalam pasal 74, 75, dan 76 UUPA dan Pasal 133, 134, dan 135 KHI.
Gugatan tersebut gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Namun, bila terjadi perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai.
C.    MASA IDDAH (WAKTU TUNGGU)
Masa iddah (waktu tunggu) adalahs eorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya, baik putus karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan pengadilan. Masa iddah tersebut, hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri. Lain halnya bila istri belum melakukan hubungan suami istri, tidak mempunyai masa iddah.
Pengklasifikasian masa iddah diuraikan sebagai berikut.
1.      Putusnya Perkawinan kartena Ditinggal Mati Suami
Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari. Ketetapan ini, berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Lain halnya, bila istri yang ditinggal dalam keadaan hamil, waktu tunggunya adalah sampai ia melahirkan.
2.      Putus Perkawinan karena Perceraian
Seorang istri yang diceraikan oleh suaminya, maka memungkinkan mempunyai beberapa waktu tunggu. Dalam keadaan hamil, istri diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil maka iddah-nya sampai ia melahirkan kandungannya. Dalam keadaan tidak hamil, istri diceraikan oleh suaminya setelah terjadi hubungan kelamin, bagi seorang istri yang masih dating bulan, waktu tunggunya berlaku 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari. Bagi seorang istri yang tidak dating bulan massa iddahnya tiga bulan atau 90 hari. Bagi seorang istri yang pernah haid. Namun, ketika menjalani masa iddah ia tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci. Dalam keadaan menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun dimaksud ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali suci.
3.      Putus Perkawinan karena Khulu’, Fasakh, dan Li’an
Kalau masa iddah bagi janda yang putus ikatan perkawinannya karena Khulu (cerai gugat atas dasar tebusan atau iwad dari istri), Fasakh (putus iketan perkawinan karena salah satu di antara suami atau istri murtad atau sebab lain yang seharusnya dia tidak dibenarkan kawin), atau Li’an, maka waktu tunggu berlaku seperti iddah talak.
4.      Istri ditalak Raj’I kemudian Ditinggal Mati Suami dalam Masa Iddah
Apabila seorang istri tertalak raj’I kemudian di dalam menjalani masa iddah ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130 hari yang mulai perhitungannya pada saat matinya bekas suaminya.
Karakteristik masa iddah tersebut, merupakan ketentuan hukum mengenai tenggang waktu hitungan masa iddah dalam hukum perkawinan Islam. Di antara hikmah yang penting dalam masalah iddah, selain untuk mengetahui keadaan rahim, juga menentukan nasab anak, member alokasi waktu yang cukup untuk merenungkan tindakan perceraian, bagi  istri yang ditinggal mati suaminya adalah untuk turut berduka cita atau berkabung sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
Ketentuan tersebut, bukan hanya mengatur masa iddah dalam hal berkabung, melainkan juga mengatur masalah masa berkabung bagi suami yang ditinggal mati oleh istrinya. Berarti pengaturan hukum perkawinan Islam dalam masa iddah bukan hanya semata-mata mementingkan aspek yuridis normative, tetapi juga mementingkan aspek yuridis empiris yang memuat aspek rasa, toleransi, dan kepatutan.

D.    RUJUK : PENGERTIAN DAN TATA CARANYA
1.      Pengertian Rujuk
Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali. Rujuk dalam pengertian terminology adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai raj’I, dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa iddah.
Rujuk dalam hukum perkawinan Islam merupakan tindakan hukum yang terpuji. Sebab, sesudah sepasang suami istri melewati masa kritis konflik yang diakhiri dengan perceraian, kemudian timbul kesadaran untuk menyambung tali perkawinan yang pernah putus dalam menyongsong hari esok yang lebih baik.
Apabila suami melakukan rujuk berarti melakukan akad nikah kembali. Dengan demikian, istri yang akan dirujuk oleh suaminya menyetujui dan disaksikan oleh dua orang saksi. Di lain pihak, walaupun sang bekas suami ingin rujuk kepada bekas istrinya yang masih dalam masa iddah, tetapi sang istri tidak menerimanya maka hal itu tidak akan terjadi rujuk. Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Hikmah rujuk diantaranya, bertaubat dan menyesali kesalahan-kesalahan yang lalu untuk bertekad memperbaiakinya, menghindari murka dan kebencian Allah SWT, untuk menjaga keutuhan dan keselamatan keluarga, khususnya masa depan anak-anak.
2.      Tata Cara Rujuk
Tata cara dan prosedur rujuk telah diatur dalam pasal 32, 33, 34, dan 38 peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan bagi yang beragama Islam.
Prinsip rujuk baru dapat dilaksanakan setelah persyaratan yuridis normative dan teknis yuridis empiris terpenuhi. Sesudah rujuk dilaksanakan, maka hal-hal yang bersifat administrative, yang menjadi tugas dan kewenangan Pegawai Pencatat Nikah diatur dalam pasal 168 KHI. Selanjutnya pasal 169 KHI menguraikan langkah-langkah administrative lainnya.
Ketentuan mengenai rujuk sama halnya dengan perkawinan, yaitu hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan administrasi dalam ikatan perkawinan yang disebut dalam kaidah ushul maslahat mursalah, yaitu mewujudkan suatu hukum untuk mencapai kemaslahatan, sementara tidak ada nsah yang mengatur atau melarangnya.
E.     SANKSI PIDANA DALAM HUKUM PERKAWINAN
Sanksi pidana dalam hukum perkawinan adalah hukuman yang akan diterima oleh pihak-pihak tertetntu yang melanggar hukum perkawinan. Sanksi pidana diatur dalam pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Ketentuan pasal 45 dan penjelasan dari peraturan pemerintah tersebut, membedakan jenis pelanggaran dan sanksi hukuman antara mepelai dengan pejabat pencatat perkawinan. Jenis-jenis pelanggaran hukum tersebut, akan dikemukakan sanksi pidana berdasarkan :
1.      Jenis pelanggaran Calon Mempelai,
2.      Jenis pelanggaran Pegawai Pencatat Nikah
3.      Kategori Tindak Pidana dalam Hukum Perkawinan.
F.     PERKAWINAN ANTAR (PEMELUK) AGAMA DAN STATUS KEWARGANEGARAAN YANG BERBEDA
1.      Perkawinan Antarpemeluk Agama
            Perkawinan antarpemeluk agama (pria yang beragama islam dengan wanita yang beragama selain Islam atau sebalikanya) tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun demikian, Kompilasi Hukum Islam mengungkapkan larangan terhadap orang Islam mengawini orang yang tidak beragama islam yang diatur dalam pasal 40 dan 44 KHI.
            Dalam Surah Al-maidah (5) ayat 5, Allah member dispensasi berupa hak kepada pria muslim untuk menikahi wanita ahlul kitab, yakni wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Hak atau kewenangan terbuka itu dapat dipergunakan atau tidak dipergunakan oleh pria muslim, tergantung pada situasi, kondisi, dan keadaan dirinya. Dispensasi itu hanya diberikan kepada pria muslim, tidak kepada wanita muslim atau muslimat. Hak dimaksud untuk mengawini wanita kitabi.
2.      Perkawinan Antarkewarganegaraan yang Berbeda
            Perkawinan antarkewarganegaraan yang berbeda dalam terminology disebut perkawinan campuran. Hal ini diatur dalam pasal 57, 58, 59, 60, 61, dan 62 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.